Di Indonesia, tanggal 10 November 2014 diperingati sebagai Hari Pahlawan. Jasa para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan seperti yang tergambar dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, bagaimana pun, tidak terbantahkan. Atas jasa mereka, bangsa Indonesia bisa menjalankan kedaulatannya.
Namun bangsa ini masih membutuhkan para pahlawan untuk terus mengisi kemerdekaannya. Di antara yang paling layak disebut sebagai pahlawan pada saat ini adalah guru. Mengapa guru layak disebut sebagai pahlawan?
Apabila orang tua adalah pahlawan besar dalam lembaga sosial terkecil bernama keluarga, maka guru adalah pahlawan besar dalam kesatuan sistem masyarakat yang membentuk lembaga besar bernama negara. Guru menempati posisi sangat penting yang secara langsung maupun tidak langsung menentukan kemajuan suatu negara. Sebab gurulah yang mendidik para murid sehingga suatu saat mereka bisa menjadi presiden, menteri, anggota parlemen, direktur, pegawai negeri, dokter, dan sebagainya. Guru juga lah yang menjadi motor utama sistem pendidikan yang dijalankan oleh negara.
Peran besar para guru dalam memajukan suatu bangsa sudah terbukti di negara-negara lain. Asumsinya adalah bahwa bukan hanya kekayaan alam berlimpah yang akan membuat suatu negara menjadi maju, melainkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Kekayaan alam yang melimpah tidak akan bisa dimanfaatkan atau dikelola dengan baik tanpa ada sumber daya manusia berkualitas. Dan para gurulah yang menjadi ujung tombak penyediaan sumber daya manusia berkualitas. Oleh karena itu sudah sepantasnya apabila guru mendapat status sosial dan penghormatan penting dari masyarakat.
Dalam hal ini, kita bisa mencontoh Cina. Negara yang menurut PBB, World Bank, dan IMF disebut sebagai negara raksasa ekonomi dunia dengan total GDP terbesar kedua sedunia ini merupakan negara yang para gurunya mendapat penghormatan besar dari masyarakat. Hasil penelitian University of Sussex, Inggris, yang dipublikasi situs BBC pada tahun lalu menemukan bahwa profesi guru di Cina mendapat penghormatan tertinggi dibandingkan negara lain.
Menurut survey yang menggunakan ukuran sikap masyarakat terhadap status profesional, kepercayaan, gaji, dan keinginan untuk memilih guru sebagai karir, ini profesi guru di Cina sama levelnya dengan profesi dokter. Hasil studi tersebut memang sejalan dengan budaya di Cina yang menempatkan pentingnya pendidikan dalam kehidupan.
Di Indonesia, sayangnya penghormatan atas profesi guru masih kurang, terutama dari masyarakat sendiri. Ungkapan “guru adalah pahlawan tanda jasa”, barangkali mewakili kurangnya penghormatan ini karena meski dianggap berjasa, tapi seolah-seolah guru tidak membutuhkan “tanda jasa” alias penghormatan dari masyarakat.
Masih kurangnya penghormatan terhadap profesi guru inilah yang kemungkinan menyebabkan profesi guru kalah mentereng dibanding profesi lain di Indonesia. Masyarakat seringkali melihat profesi sebagai direktur perusahaan swasta atau pegawai pemerintahan lebih baik dibandingkan profesi sebagai guru.
Secara struktural, negara memang sudah berusaha menaikkan derajat guru. Melalui sistem sertifikasi diharapkan muncul guru-guru profesional yang mempunyai kompetensi dan mendapat gaji serta tunjangan yang layak. Namun tantangan meningkatkan kompetensi guru sendiri juga banyak. Apalagi problem yang dihadapi guru sendiri juga beraneka ragam, seperti kebutuhan meningkatkan pengetahuan dan kapasitas diri melalui membaca buku atau internet, kursus, juga seminar di sela-sela jam mengajar yang padat. Problem seperti ini banyak dijumpai di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Akibatnya, nilai rata-rata nasional Uji Kompetensi Guru pada 2013 tidak mencapai angka 6,0. Hanya 4,25. Hal ini menjadi tantangan yang harus dijawab negara agar kompetensi guru juga semakin meningkat.
Selain kerja keras yang harus dilakukan negara, masyarakat juga harus memberi dukungan dengan memberi penghormatan kepada para guru. Anies Baswedan, pada tahun lalu pernah mengusulkan agar guru mendapatkan status Very Important Person alias VIP dari masyarakat, misalnya dengan menjadikan guru sebagai tamu penting di pesawat sehingga berhak boarding lebih awal, mendapatkan prioritas sebagai pasien penting saat dirawat di rumah sakit, atau menjadikan guru sebagai customer utama di berbagai perusahaan swasta.
Namun di luar cara dan lingkup formal tersebut, saya mengusulkan suatu gerakan atau perubahan paradigma revolusioner bahwa semua orang harus menjadi guru. Masyarakat harus berusaha menjadi guru baik dalam pengertian formal maupun non formal. Jika kesempatan menjadi guru formal tidak tersedia, maka jadilah guru non-formal untuk semua orang.
Argumentasi gerakan ini adalah bahwa pendidikan tidak boleh hanya dijalankan di ruang-ruang kelas di sekolah. Pendidikan bisa dijalankan di rumah, kantor, mall, café, atau pinggir lapangan olahraga. Masing-masing orang juga mempunyai pengetahuan yang berbeda-beda, yang bisa dibagikan kepada orang lain pada suatu kesempatan. Di kesempatan yang lain, ia bisa menjadi murid dari orang yang mempunyai pengetahuan berbeda.
Gerakan kultural semacam ini juga perlu memasukkan nilai-nilai bahwa guru adalah profesi penting sehingga harus ditempatkan dalam status sosial penting di masyarakat. Kebetulan, seperti halnya Hari Pahlawan yang jatuh pada bulan November, Hari Guru jatuh pada 25 November. Kini saatnya masing-masing kita menjadi pahlawan. Guru adalah pahlawan. Semua orang harus menjadi guru. Dan semua orang bisa menjadi pahlawan. (Roni Pramaditia, Ketua Medco Foundation)