Komitmen Indonesia untuk menciptakan “dunia yang layak bagi anak”, setelah ratifikasi Konvensi Hak Anak, diwujudkan dengan lahirnya beragam kebijakan yang mengarusutamakan pemenuhan hak anak. Indonesia menatap masa depan sebagai negara yang bebas dari diskriminasi, memenuhi hak hidup dan kelangsungan hidup, hingga negara yang menghargai pandangan anak.
Kebijakan yang populer sekarang di antaranya kabupaten atau kota layak anak (KLA). Program nasional ini mendorong daerah mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan, untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan pada 2018 telah terbentuk 389 kabupaten atau kota layak anak di seluruh Indonesia. Akhir tahun ini ditargetkan meningkat menjadi 514. Target Indonesia menjadi negara layak anak pada 2030 tampak bisa digapai segera? Tapi, ini tidak mudah.
Perlindungan anak di Indonesia masih harus berhadapan dengan rendahnya kesadaran masyarakat. Ini diperburuk dengan adanya nilai yang “membolehkan” perilaku kekerasan terhadap anak. Lihat saja prevalensi kekerasan fisik dan psikis terhadap anak yang masih sangat tinggi di sekitar kita. Global Report 2017: Ending Violence in Childhood menyebut 73,7 persen anak-anak Indonesia berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah. Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat kekerasan fisik terhadap anak paling banyak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh anak. Ini baru masalah yang terlihat di permukaan. Banyak kasus kekerasan pada anak tidak masuk dalam laporan. Belum lagi pengacuhan, perundungan (bullying), dan pemaksaan pandangan pada anak.
Pemenuhan hak-hak anak juga punya tantangan tersendiri. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik, misalnya. Akses dan ekonomi membuat masih banyak anak Indonesia tidak bisa sekolah. Ada pula hak administratif. Diperkirakan lebih 50 juta anak Indonesia belum memiliki akte kelahiran, yang kemudian berdampak jauh pada pemenuhan kebutuhan lainnya.
Kita perlu mendorong lahirnya upaya perlindungan dan pemenuhan hak yang dapat menjamin sekaligus menjadi pegangan hidup anak, agar mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta mendapat perlindungan dari kekerasan serta diskriminasi dalam bentuk apapun. Tentu ini bukan tugas pemerintah saja. Semua elemen perlu terlibat di dalamnya.
Selama Hari Anak Nasional! Mari kita mulai bergerak menciptakan dunia yang layak bagi anak.