Tren penggunaan kendaraan listrik sedang terjadi di beberapa negara. Meski kendaraan berbahan bakar fosil masih mendominasi, namun jumlah pengguna kendaraan listrik, khususnya mobil listrik, terus mengalami peningkatan. Di China dilaporkan sekitar 5,8 juta kendaraan listrik terjual hingga akhir Mei 2021. Populasi kendaraan listrik di China disebut-sebut mencapai 50 persen dari populasi global. China, Amerika Serikat, dan Eropa menjadi pusat populasi kendaraan listrik terbesar di dunia saat ini.
Jumlah kendaraan listrik di dunia diperkirakan akan terus bertambah pada tahun-tahun mendatang. Dikutip The Guardian, Badan Energi Internasional memprediksi jumlah kendaraan listrik akan terus meningkat hingga mencapai 145 juta unit pada tahun 2030.
Kecenderungan kenaikan penggunaan listrik juga terjadi di Indonesia. Meski populasinya masih sangat kecil, jumlah kendaraan listrik di Indonesia diperkirakan akan terus bertambah pada tahun-tahun mendatang. Dari beberapa sumber, jumlah kendaraan listrik hingga pertengahan 2021 di Indonesia adalah 1.478 untuk kendaraan roda empat, 188 unit roda tiga, dan 7.526 untuk kendaraan roda dua. Dalam beberapa tahun mendatang pemerintah memperkirakan akan ada 7,46 juta kendaraan listrik pada 2030 dengan kebutuhan stasiun pengisian mencapai 530 ribu unit.
Bagaimana rencana Indonesia menyambut era kendaraan listrik?
Pemerintah Indonesia telah menyusun peta jalan atau road map dalam upaya pengembangan kendaraan listrik dan sudah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 55/2019 mengenai percepatan program kendaraan bermotor listrik. Perpres ini ditindaklanjuti dengan dua Peraturan Menteri (Permen) Menteri Perindustrian No.27/2020 dan Permen Menteri Perindustrian No.28/2020. Dalam kedua Permen tersebut dibahas berbagai aspek seperti spesifikasi teknis, road map, penyediaan infrastruktur pengisian daya, pemberian insentif bagi konsumen dan produsen, dukungan terhadap pembentukan industri kendaraan listrik, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), Completely Cnocked Down (CKD), dan Incompletely Knocked Down (IKD).
Salah satu kunci penting dalam pengembangan kendaraan listrik adalah baterai. Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementrian Perindustrian, Sony Sulaksono, dalam suatu forum, mengatakan bahwa untuk membangun industri dimulai dari membangun assembling crane terlebih dahulu. Hal yang utama dari kendaraan listrik adalah dengan penguasaan baterainya itu sendiri karena 40 persen value suatu kendaraan listrik terdapat di baterai.
Potensi ini yang semestinya dimanfaatkan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai deposit nikel, bahan pembuat bateri, terbesar. Sekitar 30 persen supply nikel di dunia berasal dari Indonesia. Hanya saja, kebutuhan nikel saat ini masih berebut untuk baterai dan keperluan lain. Di luar bahan baku, produksi baterai tetap masih menjadi tantangan terbesar Indonesia dalam mewujudkan ekosistem kendaraan listrik. “Memang kita punya deposit besar (sumber daya), tapi kalau dikeruk terus lama-lama akan habis. Jadi kita harus siap dengan adanya tren-tren baru yang tidak hanya berbasis pada nikel,” kata Sony. Selain itu, untuk mewujudkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, Ia pun meminta kepada para produsen baterai untuk dapat lebih memprioritaskan produksi baterainya di dalam negeri.
Upaya pemerintah dalam mewujudkan road map pengembangan kendaraan listrik di Indonesia sudah rampung hingga tahun 2035 mendatang. Produksi mobil listrik di Indonesia ditargetkan mencapai 400.000 unit per tahun pada 2025 dan meningkat hingga 600.000 unit per tahun pada 2030. Lima tahun kemudian, angka produksi ini diproyeksikan dapat mencapai 1 juta unit per tahun. Sementara itu, angka produksi untuk sepeda motor listrik di dalam negeri diproyeksikan bisa mencapai 1,76 juta unit per tahun pada 2025 dan 3,22 juta unit per tahun di 2035. Angka produksi untuk kendaraan bermotor diproyeksikan lebih tinggi karena sudah banyak pemainnya di Indonesia. Saat ini sudah terdapat 21 perusahaan di Indonesia yang memproduksi kendaraan motor listrik roda dua.
Jika semua bisa tercapai, maka akan terjadi penurunan emisi gas buang 4,6 juta ton karbondioksida (CO2) pada 2035 dari kendaraan roda empat dan 1,4 juta ton CO2 dari roda dua.
Dalam rangka mendorong program percepatan elektrifikasi kendaraan bermotor listrik di Indonesia, pemerintah juga telah menyiapkan berbagai insentif. Misalnya, pembebasan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor (BBN-KB), mini tax holiday, tax holiday, hingga super tax deduction bagi produsen yang berkomitmen memproduksi kendaraan serupa. Pemerintah memberikan PPnBM yang lebih friendly kepada kendaraan-kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi lebih rendah. Semakin tinggi emisinya, pajaknya akan dinaikkan dan semakin rendah pajaknya akan diturunkan. Kemudian insentif ini tidak hanya harus diberikan kepada players, tetapi juga kepada konsumen, yaitu masyarakat pegguna.
Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga telah menyiapkan holding baterai kendaraan listrik secara terintegrasi dari hulu hingga hilir, yang dinamakan IBC (Indonesia Battery Corporation). Indonesia Battery Corporation (IBC) dimiliki oleh empat pemegang saham utama yaitu Industri Pertambangan MIND ID (PT Indonesia Asahan Aluminium/Inalum), PT Antam Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero), dengan komposisi saham sebesar masing-masing 25 persen. Konsep ini dibentuk dalam upaya menyatukan seluruh integrasi dari hulu sampai hilir untuk baterai ini. Indonesia Battery Corporation (IBC) juga menggandeng produsen baterai bernama China’s Contemporary Amperex Technology (CATL) dan LG Chem Ltd untuk mengembangkan industri baterai listrik.
Holding perusahaan baterai ini tidak hanya memproduksi baterai listrik untuk mobil tapi juga untuk motor.
Direktur Presiden PT Industri Baterai Indonesia, Toto Nugroho, dalam suatu kesempatan, menyebutkan Indonesia sangat memiliki peluang untuk menjadi produsen kendaraan listrik yang menargetkan Asean. Ia mengatakan,” Kita memiliki keunggulan baterai dan Indonesia memiliki harga yang sangat kompetitif, serta terdapat basis produksi kendaraan listrik di Indonesia untuk Asian Region.” Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah diperlukannya adaptasi terkait kendaraan listrik. Pertama, harganya masih relatif mahal dibanding mobil berbahan bakar minyak. Kedua, masih minimnya ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU. Ketiga, masih terbatasnya tipe mobil yang ada. Sehingga beberapa hal tersebut mempengaruhi faktor psikologis konsumen untuk menggunakan kendaraan listrik.
Upaya mewujudkan percepatan pertumbuhan kendaraan listrik tentu saja masih membutuhkan perjuangan panjang. Namun mengingat transisi energi tidak bisa dihindari, maka upaya ini harus disiapkan sejak awal. Hal ini agar Indonesia tidak semakin tertinggal saat kendaraan listrik menjadi moda transportasi utama di dunia di masa mendatang.*** (Tiara, dari berbagai sumber).