“Apa upaya yang sudah dan akan dilakukan industri minyak dan gas bumi (migas) dalam mengatasi dampak perubahan iklim?”
Pertanyaan ini menjadi pertanyaan utama yang dilontarkan dalam diskusi Pojok Iklim di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jumat (25/10). Diskusi mingguan multistakeholder yang membahas isu-isu perubahan lingkungan tersebut kali ini menghadirkan sejumlah narasumber. Di antaranya: Sigit Reliantoro (Sekretaris Ditjen Pengendalian Pencemaran Kerusakan Lingkungan KLHK), Kosario M. Kautsar (SKK Migas), Leodan Hadin (PT Pertamina Persero), dan Budi Basuki (Medco Energi Internasional).
Berbagai solusi, upaya terbaru, serta inovasi yang telah dan sedang dilakukan industri migas dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dibahas dalam forum tersebut. Sebagaimana diketahui, untuk mendapatkan produk-produk migas, para pengelola dalam industri ini melakukan berbagai kegiatan seperti eksplorasi, pengembangan, produksi, pengangkutan, hingga pemasaran.
Setiap kegiatan tersebut, baik di sektor hulu maupun hilir, berpotensi menimbulkan masalah lingkungan. Oleh karenanya para pemilik industri migas diharapkan dapat menemukan solusi-solusi terbaik yang lebih memperhatikan kelestarian lingkungan hidup untuk menciptakan suatu kegiatan industri yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Dalam pembahasannya, Budi Basuki menyatakan bahwa Medco Energi selama ini ingin menjadi yang terbaik di bidang lingkungan. “Sejak awal kami kami bercita-cita untuk menjadi zero gas charge dan zero flare. Namun, ternyata hal ini tidak semudah yang dibayangkan. Cita-cita untuk membuat zero flare atau bebas suar bakar sulit terealisasi ketika ternyata bahan ini sulit untuk di daur ulang,” katanya. Ia pun melihat bahwa untuk masalah lingkungan ini diperlukan intensif yang lebih luas dari pemerintah yang bisa mendukung industri migas dengan sistem jangka panjang.
Budi juga memandang bahwa salah satu persoalan bahan bakar di Indonesia saat ini adalah karena bahan bakar masih akan berbentuk liquid dan belum bisa digantikan dalam bentuk gas. Oleh karena itu diperlukan berbagai terobosan untuk bisa mengatasi masalah ini. Misalnya, menurut Budi, adalah dengan pengembangan energi terbarukan dari tanaman-tanaman energi. “Saya melihat ada peluang sorgum sebagai bahan baku alternatif pembuatan ethanol. Tanaman ini sangat tahan banting, hanya memerlukan sedikit air, yaitu seperempat untuk keperluan pertanian tanaman jagung. Namun, biomass yang dihasilkan bisa menyentuh angka 50-60 ton,” jelasnya.
Dengan masa panen yang cukup cepat, yaitu sekitar 90-100 hari, ditambah daya tahan terhadap cuaca ekstrim, ia yakin bahwa sorgum dapat bermanfaat untuk menjadi salah satu alternatif atau opsi untuk pengembangan energi terbarukan.
Di penghujung acara Budi menyatakan bahwa upaya melestarikan alam merupakan tugas bersama. Bukan hanya oleh perusahaan migas, namun pemerintah dan masyarakat juga harus bahu membahu bersama. Hanya dengan kerjasama ini maka tujuan bersama untuk mengantisipasi perubahan iklim dapat tereaslisasi. *** (Aranzsa Audi)