Sejak awal 2014 beberapa gunung berapi yang ada di Indonesia mengeliat. Mereka menunjukan aktifitasnya alamnya. Yang masih terasa hangat di ingatan kita adalah erupsi Gunung Sinabung (Sumatera Utara) yang menyebabkan ribuan masyarakat sekitar harus meninggalkan rumah dan tinggal di pos-pos pengungsian. Setelah itu diikuti erupsi Gunung Kelud (Jawa Timur) pada Februari lalu yang membuat beberapa kota di Pulau Jawa diselimuti abu vulkanik dari Gunung Kelud. Gunung Slamet (Jawa Tengah) juga sempat mengalami beberapa letusan pada bulan Maret lalu.
Erupsi gunung api seringkali membawa dampak luas pada masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan berbagai cara untuk menangani bencana alam ini, baik pada masa paska bencana maupun pra bencana. Dalam tulisan ini akan diulas penanganan dampak bencana erupsi gunung berapi dari sudut pandang medis berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan Medco Foundation.
Sebelum bergerak atau terjun lebih jauh ke lokasi bencana erupsi gunung berapi, kami melakukan kegiatan assessment ke wilayah tersebut untuk mengetahui kebutuhan yang paling dibutuhkan oleh korban bencana. Hal ini agar bantuan beserta kegiatan yang akan dijalankan bisa tepat sasaran sesuai kebutuhan saat itu. Data yang dibutuhkan misalnya sejauh mana tingkat keparahan akibat bencana, kebutuhan yang paling penting saat itu, sejauh mana bantuan yang sudah diberikan pemerintah atau instansi swasta kepada korban bencana, data jumlah penduduk di pengungsian, dan data titik-titik pengungsian yang belum mendapatkan bantuan.
Setelah data-data tersebut terkumpul, disusunlah suatu kegiatan penanganan bencana di lokasi tersebut. Untuk penanganan paska bencana di bidang kesehatan, bantuan yang bisa kita berikan adalah pelayanan medis gratis. Bentuknya adalah pemeriksaan dan pengobatan gratis yang dilakukan dengan cara menyisir titik-titik pengungsian atau dearah terdampak yang masih banyak warganya karena warga tidak mau mengungsi.
Bantuan pelayanan medis gratis ini menjadi prioritas utama karena latar belakang pengungsi yang biasanya dihuni para balita hingga warga usia lanjut. Pengalaman yang diperoleh Medco Foundation selama ini, warga yang tinggal di pengungsian mulai para bayi dan warga usia lanjut, banyak yang sudah terjangkit suatu penyakit sebelum ada bencana dan belum tetangani dengan baik karena minimnya fasilitas kesehatan di desa mereka. Juga tidak adanya obat-obatan yang memadai serta peralatan medis yang terbatas. Warga yang sudah terkena penyakit ini, terutama yang bersifat menular, harus segera ditangani supaya penykaitnya tidak menyebar kepada pengungsi lainnya.
Selain itu pelayanan medis juga sangat dibutuhkan mengingat pos-pos pengungsian korban letusan gunung api biasanya ditandai kualitas udara yang buruk akibat abu vulkanik. Fasilitas sanitasi biasanya juga kurang bisa mendukung apabila jumlah pengungsi yang tinggal di suatu pos pengungsian sangat banyak. Oleh karena itu para pengungsi korban letusan gunung api biasanya rentan terhadap penyakit kulit dan ganggungguan pernafasan. Obat-obatan, alat medis, dan layanan medis untuk jenis penyakit ini harus dipersiapkan dengan baik.
Bantuan yang juga penting adalah sarana sanitasi seperti pengadaan air bersih, sarana MCK dan pembuangan sampah. Hal ini karena lokasi yang dipakai para pengungsi biasanya tidak semua memiliki fasilitas tersebut. Dalam beberapa kasus warga biasanya akan diungsikan ke tenda-tenda pleton yang di buat oleh suatu institusi pemerintah setempat di lokasi yang aman dengan jarak yang jauh dari tempat tinggal mereka. Bantuan sarana sabitasi ini tentunya juga harus cepat mengingat masih banyak fasilitas yang tidak mendukung. Pada kasus yang lain, lokasi pengungsian yang berada di masjid, gereja, jambur, atau gedung tertentu biasanya sudah memiliki fasilitas sanitasi dan air bersih yang layak.
Bantuan selanjutnya dapat berupa pendidikan kesehatan. Banyak ahli medis yang membuat analisis dampak buruk abu vulkanik terhadap kesehatan tubuh manusia, khususnya pada paru-paru manusia. Oleh karena itu perlu diberikan edukasi tentang pentingnya perilaku hidup bersih selama di pengungsian. Hal ini agar warga yang mengungsi dapat mempertahankan derajat kesehatannya. Materi kegiatan ini sebenarnya sederhana, seperti memberikan informasi berupa poster tentang pemakaian masker, membuang sampah pada tempatnya, kebersihan MCK, dan memanfaatkan sebaik-baiknya air bersih yang ada. Dialog secara langsung kepada warga yang mengungsi juga diperlukan untuk kegiatan edukasi hidup bersih di pos pengungsian ini.
Edukasi selanjutnya dengan sasaran anak-anak. Kegiatan ini berupa pengenalan akan bencana agar anak-anak memahami kondisinya pada saat itu. Untuk anak-anak, sangat penting juga memberi bantuan berupa terapi psikologi dalam penanganan traumatic syndrome. Hal ini untuk pemulihan kondisi mental anak-anak yang harus tinggal di lokasi pengungsian. Memang selain masalah kesehatan seperti sanitasi, gizi dan nutrisi, masalah psikologis ini juga harus mendapat perhatian serius. Bukankan anak perlu tahu apa yang terjadi di saat itu, atau apa yang dialaminya pada saat itu? Biasanya anak-anak yang sudah bisa berbicara akan mengajukan beberapa pertanyaan seperti di bawah ini :
• Mengapa kita pindah atau meninggalkan rumah ?
• Mengapa kita libur sekolah?
• Mengapa daun-daun terlihat putih?
• Mengapa orang-orang menggunakan masker ?
• Apa itu gunung meletus ?
• Apa itu abu vulkanik ?
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin kita tidak lagi mampu menjawabnya dengan bijak, sehingga si anak merasa tidak puas.
Efek bencana akan terbawa selama masa tumbuh kembang anak, bahkan bisa mempengaruhi karakter, sifat dan pola perilaku tertentu yang nantinya bisa menghambat proses kreatif dan produktif di usia dewasanya kelak. Oleh karena itu kegiatan trauma healing ini menjadi sangat penting untuk anak-anak.
Anak-anak harus mendapat penyegaran guna menghambat mekanisme internalisasi pengalaman buruk akibat bencana pada alam ketidaksadaran mereka. Kegiatan terapi berupa trauma healing bisa diisi dengan aneka kegiatan seperti mengajak bermain dan berkumpul bersama teman-teman sebayanya.
Sebenarnya kegiatan penanganan bencana tidak hanya bisa dilakukan pada kondisi paska bencana. Masa pra bencana pun sudah harus bersiap. Untuk masa pra bencana memang tidak banyak kegiatan medis yang dilakukan. Pada masa ini yang terpenting adalah secara konsisten selalu berkoordiansai dengan aparat terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di pusat maupun daerah. Dalam kasus daerah yang sangat rawan bencana letusan gunung tertentu, kegiatan yang juga bisa dilakukan adalah bergerak pada bantuan pembuatan tenda-tenda pleton, fasilitas air bersih, dan MCK yang memadai. Beberapa fasilitas tersebut harus disiapkan dengan baik agar ketika terjadi bencana alam segera bisa difungsikan dengan baik. Kegiatan observasi ke pedesaaan dalam radius yang kira-kira terdampak juga diperlukan sembari memberikan pendidikan kesehatan dan bantuan pengobatan gratis.
Dengan adanya persiapan yang lebih baik, diharapkan kegiatan pada masa paska bencana bisa dilakukan dengan lebih baik juga. Dan tentunya diharapkan dampak bencana bisa lebih diminimalisir. *** (Tya Iskandar, Postdisaster Management Medco Foundation)