Arifin Panigoro Dialog, sebuah forum diskusi yang diselenggarakan Rumah Kebangsaan bersama Medco Foundation, kembali digelar, Rabu (21/12). Bertempat di Griya Arifin Panigoro, Jakarta, diskusi kali ini membahas prospek ekonomi Indonesia di tahun 2023 mendatang. Dipandu Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki sebagai moderator, forum ini menghadirkan beberapa pembicara yaitu ekonom senior Raden Pardede, Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Cristallin, serta Gubernur Lemhanas Andi Widjajanto.
Membuka pembahasan, Raden Pardede menyatakan bahwa penjelasan mengenai kondisi ekonomi di tahun 2023 dimulai dengan kondisi penting berupa berakhirnya pandemi Covid-19, yang akan segera berubah menjadi endemi. Namun berakhirnya Covid-19 bukan berarti ekonomi akan langsung bangkit. Di level global, situasi ekonomi masih berawan gelap, terutama di berbagai negara. Ia menyebut dunia mengalami stagflasi, gabungan antara inflasi yang tinggi dan stagnasi atau resesi ekonomi sekaligus. “Saat Covid-19 kita hanya resesi karena tidak ada aktifitas ekonomi, tapi sekarang kita berpindah ke situasi di mana harga-harga naik, tapi mobilitas juga tinggi. Lalu situasi tersebut direspon dengan kenaikan suku bunga oleh bank sentral untuk meredam inflasi. Akibatnya terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi. Di beberapa negara lain bahkan sudah mengalami resesi,” katanya.
Indonesia, selama kuartal ketiga tahun ini, belum terkena resesi. Tapi badai resesi itu sudah mengintai dan akan mendekati Indonesia, karena resesi global pasti akan berpengaruh ke semua negara termasuk Indonesia. Apa dampaknya bagi Indonesia? Ketika Bank Sentral Amerika Serikat,The Fed, berkali-kali menaikkan suku bunga dari 0,5% hingga sekarang sudah 4,25%, maka pada akhirnya akan membuat Bank Indonesia juga akan menaikkan suku bunganya. “Era suku bunga The Fed 0,25% atau 0,5 % sudah berakhir. Masa easy money sudah berakhir,” katanya. “Tapi kita beruntung karena Indonesia tidak punya hutang luar negeri yang besar sekali. Semua negara yang berhutang banyak, apalagi dalam bentuk dollar AS, akan terkena dampak parah karena suku buku bunga naik,” lanjutnya.
Meski ekonomi akan mengalami pelambatan pertumbuhan, namun dengan pelajaran saat Covid-19 lalu Pardede yakin bahwa Indonesia bisa menghadapi stagflasi. Bahkan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan di bawah 5%.
Sementara Masyita Cristallin menegaskan bahwa pemerintah melalui Kementrian Keuangan pada dasarnya telah menyiapkan dan menjalankan berbagai kebijakan untuk menjaga perekonomian Indonesia. Belajar dari krisis-krisis sebelumnya, Indonesia pada dasarnya telah menjalankan kebijakan yang prudent, termasuk mengenai utang luar negeri. Semua negara ASEAN, kata Masyita, sebenarnya sudah menjalankan kebijakan utang luar negeri yang prudent. “Utang kita relatif stabil karena kita menjaga itu, tidak semua hutang masuk ke short term, tapi kita atur ada yang mid term, dan long term,” katanya. “Kita juga menjaga kredibilitas APBN karena APBN yang kredibel itu penting untuk mendapatkan kepercayaan market,” lanjutnya.
Menghadapi situasi yang berat di tahun mendatang, Masyita menerangkan bahwa pemerintah masih akan memberi stimulus pemulihan ekonomi terutama untuk area yang punya multiplayer effect yang tinggi. “Misalnya kita harus bantu UMKM karena 85% PDB kita dari UMKM. Dulu UMKM jugalah yang mempertahankan ekonomi kita saat industry-industri canggih terkena dampak krisis,” ujar Masyita.
Meski akan mengantisipasi dampak krisis di tahun mendatang, namun Kementrian Keuangan, menurut Masyita, juga akan terus melakukan transformasi struktural supaya pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tinggi. “Kalau pertumbuhan ekonomi hanya sekitar, kurang lebih 5% terus menerus, maka cita-cita menjadi negara maju pada 2045 juga tidak akan tercapai. Kita tetap harus mengejar 7%,” katanya.
Sedangkan Gubernur Lemhanas, Andi Widjajanto, memulai pembahasannya dari persepektif keamanan global. Ia mengatakan bahwa risiko perang berkepanjangan di Ukraina masih terus ada. Ketidakpastian situasi keamanan global akibat perang Rusia-Ukraina akan membawa berbagai dampak berkepanjangan, terutama dari sisi disrupsi rantai pasok berbagai komoditas. Kecenderungan situasi akan bertambah buruk, misalnya kemungkinan perang yang makin meluas, juga masih tetap ada. “Perangnya bisa saja panjang karena Rusia sepertinya sudah menemukan cara untuk menghadapi sanksi ekonomi negara Barat. Waktu saya ke Moskow kehidupan di sana normal, tekanan ekonomi tidak terasa,” katanya.
Andi menjelaskan bahwa situasi krisis saat ini berbeda dengan krisis 2008 dan 1997. Krisis saat ini, kata Andi, bertambah rumit karena ada masalah pandemi Covid-19, rantai pasok yang terganggu, dan adanya friksi antara Amerika Serikat, China, dan Rusia. Oleh karenanya hal ini harus diantisipasi.
Dalam pandangan Andi, berdasarkan kajian di Lemhanas yang menggunakan skor -5 untuk situasi terburuk dan +5 untuk situasi terbaik, maka kondisi politik global di tahun mendatang akan berada di skor -2. Untuk kondisi ekonomi global di skor -3 karena resesi di banyak negara. Di tingkat nasional, kondisi politik nasional akan berada di skor -1, sementara kondisi ekonomi nasional di posisi +1.
Meski kondisi ekonomi nasional punya skor terbaik atau plus, tetapi karena kondisi politik nasional dan situasi global berada di posisi minus, maka kondisi ekonomi nasional juga bisa terganggu. “Di tahun depan kita harus mewaspadai beberapa titik di bulan Maret dan April terkait Ramadhan dan lebaran, bulan Mei saat aksi buruh, juga bulan November saat kampanye pemilu dimulai. Kebutuhan-kebutuhan komoditas tertentu yang penting, misalnya pangan, harus dipenuhi di masa-masa itu,” katanya.***