BANYAK pasang mata menyorot Indonesia setelah baru-baru ini kakak beradik asal Perancis, Gary dan Sam Bencheghib, menyiarkan perjalanan mereka membelah Citarum dengan perahu botol plastik. Heboh! Bukan soal perahu itu, tapi racun dan sampah di sepanjang aliran sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat itu. Washington Post menyebut Citarum sebagai world’s most polluted river, sungai paling tercemar di dunia.
Video yang diunggah Bencheghib tidak sekadar visualisasi sungai keracunan limbah dan polutan, mulai dari Majalaya hingga ke muara di Laut Jawa. Lebih dari itu, tentang bagaimana orang Indonesia sedang menyayat “urat nadi”, merusak masa depannya sendiri.
Mari melihat lagi Citarum, urat nadi yang sedang disayat itu.
Sungai Citarum mengalir dari hulunya Gunung Wayang. Dari selatan Kota Bandung mengalir ke utara dan bermuara di Laut Jawa. Citarum mengaliri 12 wilayah administrasi kabupaten atau kota. Airnya mengalir jauh hingga Jakarta. Lebih 18,6 juta penduduk, dengan tingkat kesadaran penanganan limbah domestik rendah, tinggal di kampung-kampung di daerah alirah sungai (DAS) Citarum.
Ada sekitar 2.700 industri skala menengah dan besar di sepanjang DAS Citarum, dengan 53 persen di antaranya membuang limbah ke sungai. Limbah itu mengandung polutan logam berat seperti kadmium, timbal, hingga arsenik. Dalam sehari sampah dan limbah yang dibuang ke Citarum bisa mencapai 2.000 ton. Sampah domestik dan limbah industri adalah dua elemen penyumbang polutan terbesar untuk Citarum.
Aliran Citarum menjadi sumber air bagi hampir setengah juta hektare lahan pertanian yang terbentang mulai dari Subang, Indramayu, Karawang, hingga Bekasi. Ia juga jadi sumber utama air untuk dikonsumsi. Sekaligus menjadi jebakan. Warga membuang sampah dan limbah ke Citarum, lalu air sungai tercemar itu digunakan mengairi sawah. Padi dipanen dan kemudian berasnya dimasak dengan air dari sumur-sumur yang juga terpapar limbah beracun. Sudah puluhan tahun warga tak bisa keluar dari jebakan ini.
Sebulan setelah video Bencheghib tayang, September tahun lalu, pemerintah Indonesia merespon. Kementerian Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bergegas membuat roadmap untuk menyelamatkan Citarum. Presiden Joko Widodo turun tangan.
Presiden menyebut penanganan kerusakan DAS Citarum sebagai pekerjaan besar.
“Pemerintah sudah menghitung waktu untuk merevitalisasi DAS Citarum, yakni membutuhkan waktu sekitar tujuh tahun dari sekarang. Sudah kita hitung dari hulu, tengah, dan hilirnya akan bisa selesai Insya Allah dalam tujuh tahun,” kata presiden usai penanaman pohon di hulu Sungai Citarum, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, akhir Februari lalu.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum pun diterbitkan. Delapanbelas kementerian, lembaga negara, TNI dan Polri dilibatkan untuk menyelamatkan Citarum.
Komitmen pemerintah yang ditunjukkan dengan terbitnya Perpres Nomor 15 Tahun 2018 memicu gairah perusahaan swasta untuk ikut turun bergandengan tangan menyelamatkan Citarum. Jelas tugas besar Citarum ini tidak untuk dikerjakan sendirian.
Medco Group memandang upaya penyelamatan Citarum sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab yang mesti ikut dipikul perusahaan. Visi membangun “Indonesia Hijau” yang diusung perusahaan jelas membentuk cara pandang perusahaan dalam isu penyelamatan lingkungan. Berangkat dari Citarum, Medco memandang revitalisasi sungai ini bisa menjadi titik tolak upaya menyelamatkan masa depan air bersih Indonesia.
Bersama banyak pihak yang terlibat, Medco berencana ambil bagian dalam upaya percepatan pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum. Setelah roadmap dikaji, perusahaan berkontribusi dengan beberapa langkah strategis, di antaranya mengembangkan agroforestry di zona penyangga dan mengembangkan fasilitas pengolahan air bersih di beberapa titik di DAS Citarum.
Waktu tujuh tahun, 18 kementerian dan lembaga terlibat, semangat besar sektor swasta untuk ikut gotong royong, tentu menjadi modal besar dalam upaya menyelamatkan Citarum. Tapi, bagaimanapun, dukungan melimpah ini akan sia-sia jika masyarakat masih belum sadar bawah sumber kehidupan yang dialirkan Citarum harus diselamatkan. Regulasi bisa memaksa industri-industri di sana untuk tidak buang limbah ke sungai. Tapi, tetap saja sia-sia jika masyarakat tidak punya cara pandang sama.
Dengan semangat memperingati Hari Air Sedunia, Medco mengajak semua elemen yang terlibat dalam upaya penyelamatan Citarum tidak hanya fokus membenahi sungai. Tugas besar yang harus dikerjakan bersama termasuk mendidik dan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menyelamatkan sumber air. Dan tentu, tidak hanya untuk Citarum. Ciliwung, Musi, Barito, Bengawan Solo, Kapuas, Mahakam dan banyak sungai lainnya. Semuanya harus diselamatkan.
Mari penuhi hasrat ini dengan langkah-langkah kecil, dimulai dengan mengingatkan agar masyarakat tak lagi membuang sampah ke sungai. Citarum, semua sungai atau sumber air adalah urat nadi kehidupan, tidak boleh lagi sampah dan limbah itu menyayat dan melukai. Cukup!
Selamat Hari Air Sedunia.